Hati Hati ini Dampak Sound Horeg, Bisa Sebabkan Tuli Permanen? Penggunaan sound horeg — istilah yang belakangan populer untuk menyebut sistem suara berukuran besar dengan daya tinggi — semakin sering dijumpai dalam berbagai acara, mulai dari hajatan hingga konser musik. Meski meriah dan membuat suasana semakin hidup, tren ini ternyata menyimpan risiko serius terhadap kesehatan pendengaran.
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FK UB), dr. Meyrna Heryaning Putri, mengingatkan bahwa paparan suara keras dalam waktu lama bisa berdampak buruk pada telinga. Bahkan, dalam kasus tertentu, bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen.
“Sound horeg bisa membuat fungsi pendengaran menurun, bahkan menyebabkan kerusakan saraf yang berujung pada tuli. Telinga manusia punya batas aman untuk menerima suara, yaitu maksimal 85 desibel (dB) selama delapan jam. Kalau intensitas suara lebih tinggi, durasi aman pendengaran juga jadi makin pendek,” jelas dr. Meyrna saat diwawancarai pada Rabu, 23 Juli 2025.
Ia menambahkan bahwa kerusakan pendengaran akibat paparan suara bising biasanya berlangsung secara perlahan, sehingga banyak orang tidak langsung menyadarinya. Oleh karena itu, masyarakat diimbau lebih bijak dalam menggunakan sound system bertenaga besar dan memperhatikan aspek kesehatan pendengaran, terutama saat berada di dekat sumber suara keras dalam waktu lama.
Menurut dr. Meyrna, suara dengan intensitas 85 desibel (dB) memang masih tergolong aman jika didengar selama maksimal delapan jam. Namun, yang perlu dipahami, setiap kenaikan 3 dB akan mengurangi setengah dari waktu toleransi pendengaran.
"Misalnya, jika berada di lingkungan dengan suara 88 dB, maka waktu amannya hanya sekitar empat jam. Kalau naik jadi 91 dB, hanya dua jam. Jadi semakin keras, semakin pendek batas aman mendengarnya," terang dr. Meyrna.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dalam situasi ekstrem, suara dengan volume hingga 140 dB — seperti yang bisa dihasilkan oleh sound horeg pada level tertinggi — bisa menyebabkan kerusakan telinga secara instan.
“Dalam hitungan detik, suara sekeras itu dapat merusak bukan hanya saraf pendengaran, tetapi juga gendang telinga, tulang-tulang kecil di telinga tengah, dan bahkan struktur rumah siput di telinga dalam,” katanya.
Kerusakan akibat paparan suara berlebihan ini tak hanya berdampak pada kemampuan mendengar, tapi juga memengaruhi kualitas hidup secara menyeluruh — baik dari sisi sosial, psikologis, hingga emosional. Tanda awal yang umum dialami biasanya berupa telinga terasa penuh, berdenging, atau muncul sensasi kehilangan pendengaran sementara.
Kondisi ini dikenal sebagai temporary threshold shift atau pergeseran ambang dengar sementara. Bila terus terpapar tanpa perlindungan atau istirahat, bisa berkembang menjadi gangguan pendengaran permanen, dengan tingkat keparahan yang bervariasi pada tiap individu.
“Semakin sering dan lama kita terpapar suara keras, apalagi dalam jangka waktu panjang, semakin besar pula kemungkinan telinga mengalami gangguan serius,” ujar dr. Meyrna yang juga merupakan dokter spesialis THT serta ahli di bidang neurotologi.
Waspadai Sound Horeg: Budaya yang Meriah, Tapi Bisa Mengancam Pendengaran
Sebagai langkah pencegahan, dr. Meyrna menyarankan masyarakat untuk membatasi paparan suara keras, terutama dari penggunaan sound horeg yang kini kerap ditemukan dalam berbagai acara. Jika tidak bisa dihindari, ia menyarankan untuk menggunakan alat pelindung telinga seperti earplug, earmuff, atau earmelt guna mengurangi risiko kerusakan pendengaran.
Ia juga menekankan bahwa kelompok rentan seperti anak-anak, bayi, lansia, serta individu dengan kondisi telinga yang tidak normal, memiliki risiko lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran akibat paparan suara bising.
Meski menyimpan bahaya, dr. Meyrna mengakui bahwa fenomena sound horeg sudah kadung menjadi bagian dari budaya masyarakat di sejumlah daerah.
“Rasa memiliki terhadap budaya membuat masyarakat menganggap sound horeg itu bukan sesuatu yang salah. Malah dianggap milik sendiri, harus dijaga dan dilestarikan, meskipun kita tahu bahayanya besar,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa menikmati musik bukanlah sesuatu yang keliru. Namun, masyarakat diimbau untuk lebih bijak, dengan tetap memperhatikan batas aman pendengaran.
Menurutnya, edukasi soal bahaya kebisingan tidak melulu harus datang dari tenaga medis. Siapa pun yang memahami risikonya bisa ikut menyebarkan informasi.
“Memberikan edukasi itu bukan hanya tugas dokter atau ahli. Siapa saja bisa, asal tahu apa yang disampaikan dan paham dampaknya bagi kesehatan,” tegas dokter spesialis THT yang juga mendalami bidang neurotologi ini.
Viralnya Dampak Kebisingan Sound Horeg di Blitar
Beberapa waktu lalu, sorotan terhadap bahaya sound horeg mencuat setelah seorang warga Kabupaten Blitar, Jawa Timur, mengunggah keluhannya di media sosial. Ia mengaku terganggu dengan kebisingan dari acara tahunan yang menggunakan sound system berdaya besar di lingkungan permukiman.
Unggahan tersebut disampaikan oleh akun Facebook bernama Reffa Rizky melalui grup publik Keluh Kesah Hidup Kehidupan Berteknologi 4.0 (K3BT). Dalam unggahannya, Reffa membagikan video berdurasi 14 detik dan foto tabel yang memperlihatkan tingkat kebisingan ekstrem dari acara tersebut.
"Videonya saya ambil di Kecamatan Selopuro, Kabupaten Blitar, tanggal 19 Juli 2025. Saya tidak bermaksud pro atau kontra. Hanya iseng ingin tahu seberapa besar suara yang dihasilkan sound itu," ujar Reffa saat dihubungi Metrotvnews.com, Rabu, 23 Juli 2025.
Dalam video tersebut, terlihat seorang pria menggunakan aplikasi DBmeter pada ponsel untuk mengukur kebisingan. Hasil pengukuran menunjukkan angka 130 desibel (dB) dengan parameter dB-C yang konsisten — sebuah angka yang sudah jauh melebihi ambang aman untuk pendengaran manusia.
"Iseng-iseng coba unduh aplikasi DBmeter dari App Store. Entah akurat atau tidak, tapi jarumnya jelas menunjukkan 130 dB. Kebetulan rumah saya dilewati acara itu, jadi ya suka tidak suka tetap terdampak," tulis Reffa dalam unggahan yang kemudian viral.
Fatwa MUI Jatim: Sound Horeg yang Meresahkan Dinyatakan Haram
Menanggapi polemik yang terus berkembang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur resmi menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang penggunaan sound horeg.
Fatwa ini keluar sebagai respons atas maraknya penggunaan sound system bertenaga tinggi yang seringkali menimbulkan gangguan di lingkungan masyarakat, baik dari sisi kenyamanan, kesehatan, hingga ketertiban umum.
Dalam fatwa tersebut, penggunaan sound horeg yang melebihi ambang wajar, hingga menyebabkan kebisingan ekstrem dan gangguan, dinyatakan haram. Termasuk pula kegiatan yang mengandung unsur maksiat seperti laki-laki dan perempuan berjoget campur, membuka aurat, atau perilaku lain yang bertentangan dengan syariat Islam.
Fatwa ini menjadi pengingat bahwa menjaga kenyamanan dan kesehatan lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab bersama, serta tidak bisa dikompromikan atas nama hiburan semata.